Semenjak perang dunia meletus, banyak kerajaan ataupun negara-negara yang berlomba-lomba membangun sistem pertahanannya, tak urung meski harus mengeluarkan banyak biayaya. Dari senjata yang berhulu ledak tinggi sampai yang berbasis pemusnah masal pun di ciptakan. Pesawat-pesawat canggih dengan kemampuan yang luar biasa, kapal selam, mobil ampibi, dan peralatan mutahir lainnya terus saja berkembang. Semua mereka galakkan demi memenuhi kebutuhan teretorial, untuk misi pertahanan negaranya, dan juga agar negara mereka "di takuti" oleh negara lain.
Tapi bagaimana yang tejadi dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan tempo dulu—yang notabene masih memperlakukan sistem sosial "hommo homini lopus" (seseorang merupakan cambuk bagi orang lain) atau dengan kata lain "mereka yang kuat, maka merekalah yang menang". Di zaman dahulu, sebuah Kerajaan berdiri bukan karena rakyat yang menghendaki supaya terbentuk sebuah kerajaan—karena masarakat zaman dahulu belum sadar berfikir sejauh itu—melainkan, terbentuk oleh salah seorang atau sebagian orang yang tergolong cerdik pandai, yang—mereka—merasa mampu bertindak untuk menciptakan hukum, dan hal tersebut biasanya timbul dari kesadaran yang berpengetahuan tentang agama. Menyadari, jika masarakat yang "bar-bar"– pada waktu itu dibiarkan saja, maka akan terjadi saling membantai diantara mereka. Sedang agama yang ada pada waku itu hanyalah Hindu Maka, demi membuat kesetabilan sosial, dan melindungi rakyatnya, di bentuklah sebuah kerajaan yang sesuai dengan ajaran Hindu sebab biasanya gagasan seperti tersebut memang keluar dari para sesepuh seperti para tokoh agamawan, contohnya seorang Resi, atau Pendeta, yakni tokoh agama Hindu-Bhuda, sebab disitulah mereka punya kepentingan mengajarkan dharma keagamaan yang mereka punya. Sedangkan "ide" mereka mendirikan kerajaan jelaslah tergali dari kitab epos Ramayana ataupun Mahabarata yang didalamnya banyak memuat banyak masalah tentang kisah kebijaksanaan dan kebijakan seorang Raja dan Kerajaannya. Dugaan ini dikuatkan oleh sebab kedua kitab tersebut merupakan beberapa bagian dari lima kitab utama umat Hindu ataupun yang masuk dalam catur wedha.
Namun berkaitan dengan ini, ada sisi lain yang aneh dan amat menggelitik. Kenapa menggelitik? Karena hal tersebut tak mungkin bisa dilakukan oleh penguasa-penguasa zaman sekarang. Ini tentang bagaimana mereka mengamankan kawasan teretorialnya. Ya, kebanyakan di setiap kerajaan-kerajaan, tempo dulu, selalu mempunyai para tokoh cerdik pandai terutama para akhli buku atau sekelas sastrawan yang bekerja untuk Kerajaan. Atau pressnya waktu itu. Dan andil mereka; para sastrawan-red, dalam menuangkan karya-karyanya baik karya sastra lisan ataupun sastra tekstual yang di tuangkan dalam lontar-lontar, yang di tambah sedikit interfensi dari penguasa yang ada pada waktu itu, cukup mempengaruhi masarakat pada zamannya, "luar biasa" banyak cerita-cerita buah tangan mereka—yang kebanyakan masih berbau mistis tersebut— dapat mempengaruhi mental sepiritual masarakat yang memang pada waktu itu masih sangat runtut dengan kepercayaan Hindu-Bhudanya—pun banyak yang percaya, takut, dan serta menaruh rasa hormat kepada tokoh utama yang tersurat atau yang tersirat dalam karya mereka. Sedangkan naskah-naskah yang di hiasilkan oleh para pujangga kerajaan kebanyakan, tokoh utama dari cerita tersebut rata-rata Rajanya mereka sendiri—ini di kemungkinan karena mereka mendapat interfensi dari rajanya—dengan tujuan agar beliau dihormati rakyatnya juga di takuti kerajaan-kerajaan disekitarnya. Dan ini adalah cara termudah bagi sebuah kerajaan untuk mengamankan kawasan teretorialnya dari serangan musuh. Dan, agaknya selain para musuhnya segan terhadap kerajaan tersebut ada daya tambah yang lain, yakni para punggawa kerajaan serta para Prajuritnya menjadi punya rasa percaya diri yang tinggi ketika mereka maju di medan laga. Menggelitik bukan?
BAB 1
1. PAJAJARAN DENGAN SILIWANGI SERTA MACAN PUTIHNYA
Anda tentu pernah mendengar tentang legenda dari bumi pasundan yang sangat mengesankan ini, bahwa konon sang prabu Siliwangi di saat kematiannya menempuh jalan moksa dalam bahasa sundanya yaitu nga-hayang (atau kematian yang hilang bersama raganya) bahkan konon ada yang mengabarkan bahwa dia tidak mati, tapi berubah menjadi seekor harimau putih gaib, yang bahkan diwaktu-waktu tertentu mitosnya masih sering keluar penampakan. Selain itu, konon istananyapun ikut raib bersamaan dengan raibnya sang prabu, benarkah demikian?
Boleh percaya juga boleh tidak, akan tetapi "dengan catatan" jika patokan kita adalah logika jelas hal semacam itu tidak bisa di terima oleh akal sehat. Akan tetapi sebaliknya, jika kita sadar bahwa hal tersebut hanya sebuah mitos belaka, tentu kita dapat memaklumi adanya, karena memang begitulah sifatnya dari sebuah legenda yang lebih mengkultuskan kepada kelebihan yang dimiliki sang tokoh utamanya—yang sudah pasti punya kemampuan melebihi manusia biasa. Atau dengan kata lain, jika di ibaratkan "masakan" sudah pasti banyak sekali bumbu yang di lebih-lebihkan, di tambah-nambahi, hal tersebut berguna untuk merangsang minat penyantap cerita, dan alhasil setelah menyimak cerita tersebut pendengar-pun menjadi takzim atau terkesima. Namun seiring berjalannya waktu, segalanya kini telah berubah, orang yang dahulu takzim, sekarang justru menganggap hal tersebut hanyalah bualan belaka, maka sudah waktunya sejarah yang bengkok tersebut harus di luruskan, cerita realistis mesti di gali, karena kita tidak mau selamanya sembunyi dalam kantung kebohongan.
Untuk menggali kebenaran sejarah yang bersumber dari mitos, pertama-tama yang mesti kita ketahui adalah tokohnya. Dari kisah ini, maka satu hal yang wajib untuk di ketahui adalah, bahwa sang tokoh "Siliwangi" tersebut memang benar-benar pernah ada atau tidak. Dan yang kedua tempat-nya, yakni kerajaan Pajajaran itu dimana?
Sebuah fakta sejarah kuil yang dibangun untuk menghormati Prabu Siliwangi di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Bogor, Jawa Barat. Adalah menjadi bukti akan kebenarannya bahwa Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata)-lah yang mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, dan dialah yang memerintah hingga berlangsung selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah kerajaan yang lebih akrab di sebut Pakuan Pajajaran mencapai puncak perkembangannya.
Setelah itu, marilah kita gali darimana cerita bualan tentang nga-hyang-nya Siliwangi yang berubah menjadi Macan putih itu berhembus, dan apa tujuannya? Meskipun kita berpegang pada Logika kita tidak semestinya dengan serta-merta mengatakan bahwa "Siliwangi" ada, namun kisahnya yang demikian tersebut sesungguhnya hanya bualan, atau mitos semitos-mitosnya, alias tidak nyata—begitu saja—tanpa pengkajian lebih seksama, itu namanya tidak etis.
Setidaknya, jika kita tertarik untuk menelesik kebenaran sajarah, kita mesti berfikir bahwa hal yang 'tidak ada', jika kemudian menjadi 'ada' tentu saja hal tersebut pasti ada yang mengadakan, dan pertanyaannya, "siapa yang mengadakan cerita mitos semacam itu, dan apa tujuannya?" memang tidak terlalu sulit jika kemudian kita menebak bahwa: sudah menjadi hal lumprah, jika di sebuah masarakat yang mengagumi keagungan Rajanya kemudian diantara mereka terjadi khasak-kusuk akan kehebatannya, lalu menyanjung dan melebih-lebihkannya setinggi mungkin.
Namun lain lagi ceritanya jika saja diantara kita ada yang berpendapat, bahwa cerita tersebut "benar", bahwa kisah mistis itu memang terjadi, maka pertanyaannya kemudian "siapa orangnya yang melihat duduk kejadian tidak masuk akal tersebut dengan mata kepalanya sendiri, yang selanjutnya bisa menceritakan kepada masarakat banyak? Terpercayakah orang yang menceritakan tersebut?" karena tidak akan mungkin Sang Prabu Siliwangi yang telah, atau yang akan merubah bentuk—setelah kematiannya—untuk menjadi seekor harimau putih diketahui oleh seseorang. Dan Seandainya beliau sendiri yang bercerita, maka pertanyaannya "kepada siapa dia menceritakan, apa pangkatnya orang tersebut hingga Siliwangi bercerita padanya? dan apa tujuannya dia menceritakan hal itu? Saya yakin sekali, bertalian dengan masalah ini, tak ada seorangpun yang tahu persis "apa alasanny Siliwangi memilih menjadi seekor haimau". Tentu saja, Siliwangi-red, dia tidak sekedar ugal-ugalan saja untuk memilih hal semacam itu agar semua orang kagum padanya.".
Tentu dalam hal ini kita tidak boleh langsung menerka bahwa ini adalah terjadi karena ulah rekayasa dari si-A atau ulah Si-B. Yang sumbernya dari kelompok "anu" di tularkan ke kelompok "anu" yang akhirnya benang merah, simpul masalanya mengambang karena segala penyelesaian yang terkumpul hanya berdasarkan kira-kira belaka.
Baiklah ada lebih baiknya jika kita menelusur terlebih dahulu alur cerita yang berkembang yang bisa saja memungkinkan kita menebak bahwa mitos tersebut diadakan oleh seseorang yang sesungguhnya punya kepentingan dalam kaitan hal ini.
Catatan lain yang perlu anda ketahui adalah, bahwa Prabu siliwangi (yang lazim disebut sebagai raja pertama Pajajaran) dalah ayah dari rara santang dan Cakra Buana atau Walang Sungsang yang lahir dari permaisuri Ni Subang Larang, atau leih tepatnya Siliwangi yang Raja pajajaran tersebut adalah kakek dari syarif hidayattullah, atau Sunan Gunung Jati yang lahir dari Rara Santang yang diperistri seorang pangeran dari mesir bernama Syarif Abdullah.
Kisah ini; nga-hyangnya Siliwangi yang berubah menjadi macan putih-red adalah kisah yang muncul bersamaan dengan masuknya islam ke bumi Pasundan. Yang pada masa itu, sesungguhnya banyak kalangan peribumi yang menolak untuk memeluk islam, meski sebagian ada juga yang—meski menolak, namun tidak melakukan perlawanan fisik, dan salah satu diantaranya adalah Jaya Dewata atau yang sering di panggil Siliwangi. Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Siliwangi beristrikan wanita muslim Ni Subang Larang, yakni murid seorang mubaleg bernama Syeh Kuro dari kerawang, atau Syeh Maulana Hasanudin.
Memang dalam ceritanya, semula, Jaya Dewata melarang Syeh tersebut menyebarkan agama islam dan mendirikan padepokan di pinggir kali Ci Tarum, lalu dia, dengan kekuasaannya sebagai Raja Pajajaran yang merasa punya kekuasaan sampai ketempat itu-pun mengusirnya. Karena Syeh Kuro merasa tak punya kekuatan untuk menentang penguasa Pajajaran tersebut, Sang Syeh-pun meninggalkan pesantrennya tanpa sarat, dan pergi ke Kerajaan Kutai. Namun, beberapa tahun kemudian dia datang kembali, lalu mendirikan pondokan atau pesantren kembali.
Ketika Jaya Dewata mendengar akan hal itu, tentu saja ia menjadi murka dan bermaksud untuk mengusirnya kembali. Dia datang ke tepi Ci-tarum dimana pesantren Kuro berada, dan ia datang ketempat itu sebelum azan subuh berkumandang, dari kejauhan didengarnya suara seorang perempuan yang tengah membaca ayat suci al-quran, seketika hati Jaya Dewata terenyuh dan mengendap-endaplah dia, mengintip, mencari tahu, suara perempuan siapakah yang sangat merdu tersebut. Dan, alangkah terkejutnya hati jaya Dewata ketika dia tahu bahwa yang sedang mengaji tersebut adalah seorang perempuan muda yang cantik, seketika itu ia langsung tertawan.
Itu hanya sedikit petikan cerita yang melatar belakang pertemuan antara Jaya Dewata dengan Ni Subang Larang yang akhirnya ia sunting jadi permaisuri, dan Syeh Kuro-pun selamat, tidak di usir dari tempatnya. Itu adalah "awal" dari semua carut marutnya cerita, antara macan putih, menghilangnya istana pajajaran, Kian Santang, dan lain sebagainya bersumber, yakni dari jarak antara – pertama mulai walang sungsang anak dari buah cinta mereka, yang akhirnya bersama-sama dengan Syeh Kuro menyebarkan agama islam, dan berlanjut sampai kepada penggantinya yakni Sunan Gunungjati.
Namun untuk mengetahui lebih jelas tentang siapa sebenarnya Siliwangai dan benar tidaknya semua kisah mistisnya, ada lebih baiknyakita simak uraian dibawah;
A. Sekilas tentang Biografi Siliwangi
1. Masa Muda Sili Wangi
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri ketiga Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa: Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayah mertuanya yang pertama (Niskala Wastu Kancana) dan yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Dan yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya yang kedua yakni Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh atas pengabungan kedua kerajaan yakni Sundapura dan Galuh Pakwan, lalu dia dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Di bumi Pasundan kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu.
Prasasti Batutulis di Bogor juga menyebutkan tentang keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.
Di Tanah pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tentang tokoh ini saat menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu jika di lihat dari segi sejarah, berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (mertuanya dari galuh) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun atau Sastrawan kerajaan memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa bagian barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Jadi kesimpulannya adalah, bahwa Siliwangi hanyalah sebutan buat penguasa agung saja, atau nama gelar yang paling agung, bukan nama orang.
Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (arti dalam bahasa Indonesianya) :
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Pasundan. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara (atau Nusantara namanya yang lain). Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
2. Tragedi Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya atau "silih"-nya bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (dalam hal ini tentang siapa Wastu Kancana yang juga disebut juga Prabu Wangisutah apakah dia kakek atau mertua Sri Baduga)
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini, sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana atau yang lazim di sebut Prabu Anggalarang. Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi, yang artinya dia adalah penerus langsung dari Raja Linggar Buana. Mengapa Dewa Niskala ayah Sri Baduga dalam hal ini, yakni dalam catatan sejarah dilewatkan? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh yang tepatnya berkuasa di mangkubumi untuk derah Kewali, atau raja Kewali yang notabene berada dibawah kekuasaannya Sundapura. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang menjadi satu-satunya penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Tentu dapat ditafsirkan; apakah antara Niskala Wastu Kencana dengan Dewa Niskala adalah kakak beradik, yang kemudian—setelah menjalani kehidupannya, yakni Dewa Niskala sebagai mangkubumi di Kewali dan Niskala Wastu Kencana menjadi maharaja di Sundapura—lalu mereka meningkahkan putranya yakni Jayadewata dengan putri Niskala Wastu Kancana. Yang jelas, menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti mertuanya—menurut dugaan penulis—Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Niskala Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana, karena dia telah meningkahi anaknya, dan juga sebagai keponakannya.
3. Kebijakan dalam kehidupan sosial di Pajajaran
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari mertuanya (Niskala Wastu Kancana) yang juga disampaikan melalui ayahnya (Dewa Niskala) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya kira-kira berbunyi sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka, segeralah diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea atau pajak yang membebani rakyat. Karena, merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran agama dengan patuh. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa di bumi.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 juga disebutkan, bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan setiap setahun sekali. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dongdang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dongdang" (berayun). Dongdang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "Penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna mereka untuk bekerja "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
4.Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya.
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan dalam sumber sejarahnya mencaritakan, bahwa pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Sedang di; Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga I
Menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat atau lazim disebut Sunan Gunungjati masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Pulasari (sebelumnya di Sang Bhima). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Nah, perlu anda garis bawahi, bersamaan dengan peristiwa inilah, mungkin saja orang awam mengambil kesimpulan jika istana pajajaran menghilang. Sedang kenyataannya, bahwa betul-betul waktu itu terjadi perpindahan dari Istana Bhima ke Pulasari. Dan yang menjadi pertanyaan adalah, apakah perpindahan tesebut sekehendak Sang Prabu sendiri atau karena invasi serangan dari pasukan cirbon yang di bantu laskar dari Demak? Tak ada dalam catatan apapun, bahkan kitab Wangsakerta yang notabene penyusun dan penanggung jawabnya adalah paneran Wangsakerta yang termasuk orang dalam keraton-pun tak menyinggung hal ini, mungkin saja musnahnya istana lama tersebut benar-benar karena agresi militer dari Demak-Cirebon, akan tetapi pihak kasunanan cirbon-lah yang menghendaki hal ini untuk tidak di ceritakan kepada hal layak umum secara panjang lebar, dan kemudian meng-kisahkan bahwa Istana tersebut, "raib" hilang tanpa sebab, atau dengan diceritakan masuk ke alam gaib. Alasannya sangat mudah di mengerti, sebab jelas sangat tabu jika seorang cucu menyerang kakeknya sendiri. Selain dari itu, masa tersebut adalah masa perjuangan bagi Sarif Hidayat yang di klaim sebagai Waliyullah, sedang gencar-gencarnya menyebarkan ajaran islam. Tentu sangat-sangat mengganggu kredibilitasnya di masarakat.
Dikisahkan, tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan rela untuk masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat yang menobatkan raja adalah Cakrabuana yang sekaligus masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada akhir masa pemerintahannya. Tentu dapat kita bayangkan pergolakan batin Sang Prabu Siliwangi saat itu. Dan kiranya dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:
Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkotanya yakni Surawisesa—diperkirakan terjadinya peristiwa ini, beliau telah mengundurkan diri, atau telah mengasingkan diri dari percaturan politik dan tugas-tugas kenegaraan, dan beliau di gantikan putra mahkotanya Surawisesa—(meskipun tercatat dalam dalam berbagai buku sejarah bahwa akhir kepemimpinan beliau adalah 1521) dan dia; Surawisesa kemudian menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran untuk bersekutu dengan Portugis ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Namun, Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap kukuh memegang komitmen, untuk tetap menghormati Kedaulatan pajajaran, sebab diantara mereka semua masih ada ikatan paersaudaraan. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Penguasa pajajaran waktu itu hanya tidak senang melihat hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan kedua anaknya—yakni Walangsungsang alias Cakrabuana dan Lara Santang—diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islamm).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
B. Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda
Dalam banyak sudut, "maung" atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi, baik dalam khazanah kebudayaan atau dalam bidang-bidang lain seperti keperajuritan, olahraga, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dapat kita telesik di beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal. Contohnya seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
1. Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi yang memaparkan banyak hal berkaitan dengan teori sistem simbol yang di introdusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan secara detil tentang makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasikan sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri hanyalah salah satu dari tiga unsur pokok pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan yang ada di dalam suatu kebudayaan.
Maka, simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) atau dalam bahasa jawanya moksa, Prabu Siliwangi beserta Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya berkaitan dengan pasca penyerbuan pasukan Islam Cirebon-Demak serta ditambah kemunculannya kasunanan Banten yang baru saja tumbuh mendeklarasikan diri sebagai kasultanan baru di tatar sunda, yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan, sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri. Dan yang menjadi tanda tanya besar adalah, justru pada; "apakah cerita tentang nga-hyangnya siliwangi justru dipicu oleh wangsit yang menurut hemat saya tak jelas juntrungnya?"
Walaupun wngsit itu sendiri, bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, bahkan menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Dan kemudian yang menjadi pertanyaan besar: "apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya, ataukah hanya kiasan?" Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita bisa sedikit melihat, betapa terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Disinilah, di hutan inilah, konon Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau yang lazim disebut maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapa drawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, "Kian Santang", untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Dan, hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh sebagian masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, konon bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Bahwa tetua masarakat, atau pemimpin sepuh mereka telah menengajarkan kepada masyarakat leuweung Sancang, dengan cara yang tidak langsung. Artinya bahwa, pertanyaan mendasar tentang siapa yang memunculkan cerita tersebut sedikit terkuak, bahwa mereka; para sesepuh tersebut ternyata telah menyadari jauh-jauh hari, tentang betapa arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut, yang bisa saja disampaikan lewat cerita tutur tinular, secara turun-temurun.
Namun, terpisah dari itu semua, jujur saja, sesungguhnya serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah, atau bagaimanakah sesungguhnya? Sebab dugaan diatas hanyalah sebatas wancana yang butuh penindak lanjutan untuk di sempurnakan guna meluruskan sejarah, serta mengubah nilai pandang negatif tentang mitos menjadi sesuatu yang berdampak positif adanya.
2. Kekeliruan Tafsir
Namun ada satu hal yang perlu dicatat, bila kita telusuri secara mendalam, niscaya, kita tidak akan pernah menemukan bukti sejarah apapun yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), yakni Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.*
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung disebutkan, bahwa Pajajaran berakhir bersamaan dengan nga-hyang-nya Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau di hutan Sancang. Ini adalah duduk perkara yang sangat penting untuk diketahui, bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Sekali lagi kita perlu kejelian dalam mengamati hal ini; pertama, bahwa menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Menantu Wastukancana, atau lebih tepatnya uwaknya. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan yakni kerajaan Pajajaran. * Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Adik Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Kewali. Dengan kata lain bahwa Jaya Dewata anak dari Dewa Niskala, dikawinkan dengan saudara tuanya sendiri anak dari Niskala Wastukancana yang notabene kakak dari Dewa Niskala.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran mertuanya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi-red? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah di Pajajaran, sepeninggal Prabu Jayadewata. Berikut ini periodisasi pemerintahan raja-raja Pajajaran, pasca mundurnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Sangat jelas sekali, kiranya bahwa pada masa pemerintahan Raga Mulya-lah, tepatnya tahun 1579 Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf. * Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, yang tepatnya di kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng-nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut, akhirnya dapat disimpulkan dengan sangat gamblang, bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Dan, hal inilah dugaan kedua—selain dari para sesepuh, seperti yang tertera di tulisan tebal di atas—yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar di Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran. Yakni, terletak pada laporan Scipio ini, maka dapat disimpulkan, bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas terhadap ekspedisinya Scipio.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di bekas pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni cukup lama sekali, tepatnya pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—yakni lebih dari seratus tahun, sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian. * Sepeninggalnya para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan-pun berangsur-angsur berubah menjadi hutan belantara. Maka, bukanlah suatu hal yang aneh, bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi hutan leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Namun hal demikian tentunya harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Catatan:
[1] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[2] Terdapat dalam naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[3] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang. Beliau adalah putra Sunan Gunungjati.
[4] Janggawareng merupakan istilah bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.
Dikembangkan dari Sumber:
Artikel dari http://www.berdikarionline.com/suluh/20120429/prabu-siliwangi-dan-mitos-maung-dalam-masyarakat-sunda.html#ixzz2lBq1n6pc
Wikipedia insklopedia
Serta wawancara langsung dengan berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar