Kau adalah wanita miskin yang demi Tuhan tak pernah akan aku kabari dan tak ingin aku kabari bahwa di angkasa tinggi, disana sejuta mimpi memang telah ada, berterbangan, dan sengaja aku sembunyikan segala sesuatunya darimu, karena aku tak ingin kau terbang terlalu tinggi.
Ini kali kesekian, ketika raut bulan agustus tersiram bertih-bertih renik rerepih air hujan. Dan, kesekian kalinya pula aku tersihir oleh aroma wanita yang kini keberadaannya tak pernah aku mengerti, dan tak pernah ingin aku mengertinya.
Dulu aku menanggapi satu kesakitan sebagai satu keharusan, dan bahkan aku anggap sebagai karunia yang memang tumbuh di atas rasa cinta yang memang aku inginkan bersarang, yang kemudian terlanjur menjalar di jiwaku.
Percayalah, sampai kapanpun jiwaku tetap bercahaya buatmu. Sekarangpun aku akan tetap menandainya dengan duka cita, sungguh, setiap ada kesakitan adanya di karenakan oleh sepi, seperti melumat tubuh habis tak tersisa ---begitulah caraku, akhirnya aku meringkuk dalam sakit bukan karena satu penghargaan atas rasa cinta tetapi lebih karena keterasingan tersepi sembunyikan dari hiruk-pikuknya rasa itu sendiri, baik itu perasaan sayang, ataupun perasaan cinta asmara, bahkan mungkin dengan segala ketebelecenya. Aku memaknai bahwa cinta itu adalah memang rasa sakit. Tapi sengsaraku kini buksn atas cinta melainkan oleh kebencianku kepada cinta. Ya, begitulah alasanya; "mengapa aku memuja dunia ini," adalah sama seperti alasan kenapa aku membencinya. Dan dengan kesakitan tersebut maka kemudian aku dapat menikmati liku-liku kemana arahnya sungai kasihmu yang seperti tak pernah menemukan laut. Aku telah lupa. Aku benar -benar telah melupakan tujuan hidup yang sesungguhnya, bukankah rasa yang begitu itu yang sering orang-orang menyebutnya cinta, yang sekarang sedang aku eja huruf demi huruf.
Mungkin aku merengkuh nikmat dari sakit ketika tersiksa sunyi tanpa bayanganmu. Mungkin. Tapi demi Tuhan aku belum bisa nenerima rasa sakit itu menjalar di kehidupanmu. Kau bukan terlahir dari ketidak inginanku, ataupun takdir yang kau petik seperti daun bayam yang kau petik setiap pagi di kebun belakang rumahnmu. Kau adalah dua rasa yang dijaga oleh keinginan yang tanpa sarat. Memang, seharusnya aku menahan dan nerkata, "Stop" tapi lelaki dalam tubuhku adalah setan buat perempuan semiskin kamu.
"MAAF" kini aku menjadi api di kakimu, langkahmu menjadi luka-luka yang menjalar, merayap-rayap. Tapi,aku adalah terpilih hatinya untuk merasakan kehangatan saat rinai hujan turun, biar bebatuan berucap dengan bahasa yang keras dan tanah-tanah menjadi liat dikarenakan ia bertapa. Mungkin rasa ini satu maktub pertapaan sunyiku dalam menghafal simpang siurnya jalan di rimbunnya hutan duniawi.
Saat engkau atau siapapun yang membaca tulisan ini, mungkin jiwaku telah jauh dilangit. Tapi aku kan selalu menghafal jalan-jalan kecil yang meliuk sengkarut, buatmu mungkin aku akan menjadi bintang yang selamanya bercahaya, agar kelak kau tak tersesat arah. Hanya pintaku Jangan pernah kau sangkal jika surgaku bermata dua, biar agustus akan berlari memanjang di pendeknya hari berlalu, berganti. Semakin kau bertanya sakit maka semakin menancap, semakin sakit, dan semakin tegas surgamu aku rasakan di jiwaku. Bila bintang timur menertipkan malam, lalu pagi, lalu kerlingnya tegas, itu aku, bintang di dadaku yang menyala, menebarkan kekhusukanku memuja, "Sayang, aku rindu kamu sekarang,".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar