11 Agu 2014
Cerita Bohong Kian Santang
Tokoh yang bertalian erat dengan cerita mistis seputar maung bodas dan nga-hyang-nya Siliwangi adalah Raden Kian Santang, dia-red di klaim sebagai anak dari Siliwangi—adalah salah satu tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya sangat me-legenda khususnya di hati masarakat pasundan; dan kaum tasawuf di tanah air pada umumnya. Namun yang dimaksud dalam cerita tersebut adalah Siliwangi yang mana?—sebab sesuai sumber sejarah yang ada 'seperti yang telah tersimpul diatas' bahwa nama Siliwangi hidup dalam tiga masa generasi, pertama adalah Prabu Linggabuana yang meninggal di perang Bubat yang kemudian bergelar Prabu Wangi, kedua adalah Niskala Wastu Kancana sebagai silih-nya atau yang kemudian di sebut Wangi Sutha, dan silih yang ketiga adalah Jaya Dewata yang pendiri Pajajaran—yang bila kita kaitkan baik dengan "salah satu dari ketiga-tiganya"-pun dengan kisah Kian Santang yang berkembang di masarakat pasundan ini, hasilnya akan tidak ketemu nalar sama sekali. Mengapa demikian? Sebab ketiga tokoh Siliwangi yang termaktub dalam catatan sejarah, ketiganya hidup antara abad 13 sampai abad 14 (yakni mencakup semua masa dari Prabu Wangi sampai Jaya Dewata) maka jika kita tinjau tahun berkuasa-nya terjadilah selisih masa hidup yang jaraknya sangat jauh sekali dengan cerita Kian Santang yang konon dalam ceritanya sempat bertemu dengan Sayidina Ali RA. Nah, dalam hal ini—saya yakin, bukan hanya saya, siapapun orangnya pasti akan timbul pertanyaan, siapakah Kian Santang ini? Apakah hanya cerita Rakyat belaka seperti misalnya cerita Malinkundang dari tanah padang, atau cerita pewayangan yang datang dari daratan hindustan—ataukah cerita tersebut memang benar-benar ada? kalau memang pernah ada dimana dan siapakah sebenarnya tokoh Kian-Santang ini, dan jika hanya sebuah cerita atau mitos, kapankah kira-kira pertama kali cerita tersebut berhembus di bumi pasundan hingga beliau sangat di sanjung dan di agung-agungkan seolah-olah memang pernah ada hingga sampai sedemikian hebatnya.
Baiklah, sebetulnya tulisan ini bermula dari sebuah kejanggalan, yakni dugaan akan tidak mungkin-nya jika Raden Kian Santang ini, masa hidupnya antara abad 13–14 atau hidup semasa dengan Prabu Siliwangi. Namun untuk menelaah hal ini lebih lanjut, tentu yang pertama-tama kita harus menganggap jika cerita tersebut hanyalah cerita mitos dahulu. Atau lebih tepatnya itu hanya sekedar sebuah cerita belaka, dan kemudian kita bersama-sama meninjau, dari mana cerita tersebut berhembus. Dan, mula-mula yang perlu kita garis bawahi adalah, bahwa jenis cerita tersebut berlatar belakang-kan kisah islami—karena sebagaimana termaktum dalam kisahnya, bahwa dia, Kian Santang-red adalah seorang mualaf (seorang yang non islam kemudian masuk islam)—tentu secara probabilitas, dugaan paling dekat, tentunya cerita tersebut berhembus pada masa awal penyebaran islam di tanah pasundan. Alasannya, tidak mungkin umat Hindu atau Bhuda menceritakan kisah yang berbau islam seperti yang termaksud. Tentunya sebagaimana yang tercatat dalam berbagai catatan sejarah yang ada, bahwa penyebaran islam di tanah pasundan berpusat di daerah sekitar Cirbon dan sekitarnya yang diprakarsai oleh anak-cucunya Ni Subang Larang dan Siliwangi (Jaya Dewata) yakni Raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang bersama adiknya Rara Santang yang kemudian dilanjutkan oleh Sunan Gunnung Jati atau Syarif Hidayatullah, putra Rara Santang yang lahir di mesir itu. Alasannya sangat jelas, bahwa Cakrabuana dan adiknya Rara Santang menyebarkan islam di bumi Pasundan adalah, karena ibu mereka berdua, Subang Larang adalah seorang muslimah, beliau adalah murid dari mubaliq kondang yaitu Syeh Maulana-Hasanudin atau yang terkenal dengan Sebutan Syeh Kuro krawang. Sedang yang berdiri di belakang mereka berdua, atau yang membantunya adalah kakeknya sendiri Ki Gedeg Tapa ayah dari Subang Larang, yang notabene berasal dari daerah Subang, serta dibantu pula oleh kakek gurunya Syeh Kuro sendiri. Ya, mereka ber-empatlah yang menjadi "perintis" penyebaran Islam di tanah cirebon dan pasundan itu.
Saya berpendapat, tentunya cerita penyebaran Islam ini bermula dari sebab kenapa Raden Walangsungsang dan adiknya Rara Santang yang memilih untuk pergi meninggalkan kemegahan istana Galuh Pakuan atau Pajajaran, yang pertama, mungkin saja bisa di sebeabkan oleh ke-berbedaan antara haluan keyakinannya Islam dengan keyakinan yang di anut oleh ayahnya yakni agama "shangyang", Atau yang sering di sebut orang Sunda sebagai Agama Sundha kawitan, pada waktu itu. Atau, yang kedua bisa juga mereka pergi meninggalkan Istana karena mendapat panggilan dari Syeh Kuro untuk bersama-sama berdakwah islam, dan yang ketiga, mungkin saja—karena mereka berdua adalah lahir dari seorang selir, yang tentunya tidak punya hak untuk menduduki tahta di Pajajaran lalu mereka berinisiatif untuk mendirikan kerajaan baru dan di daerah yang kemudian di beri nama Ci-rebon tersebut menjadi pilihan yang tepat untuk membuka perkampungan baru (Dan, perkampungan inilah yang kelak kemudian menjadi cikal-bakal kerajaan Cruban atau kasunanan Cirebon yang sekarang adalah "kota madya cirebon")—dan seperti yang telah saya jelaskan diatas, bahwa di zaman dahulu, sebuah Kerajaan berdiri, itu bukan karena rakyat yang menghendaki supaya terbentuk sebuah kerajaan, karena masarakat zaman dahulu belum sadar berfikir sampai sejauh itu, melainkan ada sebagian orang atau sekelompok cerdik pandai, yang merasa mampu bertindak untuk menciptakan hukum, sebab merekalah yang sadar, jika masarakat yang "bar-bar" pada waktu itu dibiarkan saja, maka akan terjadi saling membantai diantara mereka. Maka, demi membuat kesetabilan sosial, dan melindungi rakyatnya, maka di bentuklah sebuah kerajaan dan biasanya gagasan tersebut keluar dari para sesepuh yakni para tokoh agamawan, seperti seorang Resi, atau Pendeta, yakni tokoh agama Hindu-Bhuda, yakni sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, atau Wali untuk umat Islam atau kerajaan-kerajaan sesudah islam masuk seperti, Demak, Pajang, Mataram Islam, Kasunanan Cirebon, Banten dan yang lainnya. Maka, setelah perkampungan tersebut berdiri dan berpenghuni, maka berlanjutlah kemudian mereka berdua mensyi'arkan islam, dengan dibantu oleh Syeh Maulana Hasanuddin.
Namun kisah Kian Santang yang berkembang di tengah masyarakat bukan hanya satu, melainkan terdapat banyak sekali versinya, bahkan ada cerita lain yang hampir sama namun tokohnya lain, contohnya kisah Shangyang Borosngorah di kerajaan Panjalu-Ciamis, ini, isi ceritanya hampir samaan dengan kisah Kian Santang yakni dalam pengembaraannya juga pernah bertemu dengan Saydina Ali, bahkan dia ikut perang bersama dan dihadiahi sebilah pedang olehnya, dan dalam hal ini maka ingatan saya seperti ditarik menuju kepada kisah lain, yakni kisah Siti Jenar yang di klaim sebagai wali murtad oleh kelompok wali songo. Mengapa saya teringat kisah tersebut? Kisah tersebut pun banyak sekali versinya, ada versi Cirebon yang mungkin bersumber dari Gunung jati, ada versi jawa-tengah-Demak, dan ada pula Versi jawa-timuran yang mungkin saja bersumber dari Sunan Giri. Walaupun dari ketiga versi—sama di dalam alur ceritanya, namun latar belakangnya agak berbeda, dari Cirebon dikisahkan jika Sitijenar berayahkan seorang Raja Pendeta dari hindustan yang dikutuk menjadi cacing, sedang dari Jawa tengah-Demak di terangkan jika Siti jenar berasal dari bagdad yang bermula jika ayahnya seorang pejabat di kerajaan malaka, sedang dari Jawatimuran mengklaim dia berasal dari Persia Iran yang datang ke Jawa sebagai pedagang, yang anehnya lagi dari kisah Jawat-imuran ini, disini bahkan ada silsilahnya yang lengkap, atau mahsabnya serta berhulu kepada Baginda nabi Muhamad. Dan hal yang demikian sudah sangat jelas membingungkan, belumlagi kisah mistis tentang kesaktian dan segala macam yang tidak masuk di akal, adalah terang-terang menjadi bukti bahwa kisah tersebut hanyalah fiksi saja, sebab kejanggalah-kejanggalan tersebut bagi masarakat zaman sekarang, yang masarakatnya lebih percaya dan mengedepankan Logika—daripada masalah mistis dan segala macamnya—maka cerita seperti itu mesti perlu ditanya kebenarannya. Namun saya bekum ingin membahas kisah ini lebih luas, mungkin di sesi lain akan saya ulas.
Kita kembali kepada Kian Santang. Jika kita menyimak cerita yang berkembang, dalam kisahnya, disini ada tokoh lain yang berdiri diantara Cakrabuana dan Rara Santang yakni Si Kian Santang, yang artinya bukan mereka berdua, melainkan mereka bertiga, sedang dalam catatan sejarah mana-pun nama Kian Santang ini tidak pernah ada sama sekali termaktub sebagai putra mahkota dari Pajajaran, bahkan dalam kitab wangsakerta-pun seakan kisah ini di hilangkan, ada apakah dibalik kisah ini? Nah, baiklah sekarang ada lebih baiknya kalau kita simak terlebih dahulu kisahnya;
"Di ceritakan, Kian santang adalah salah seorang putra raja Siliwangi yang paling sakti diantara sekian banyak putra-putrinya. Dalam setiap pertempuran ia selalu menang, hingga kesombonganya memuncak, ia rindu ingin melihat darahnya sendiri terpercik oleh musuhnya. Alkisah ia mengembara dari satu teat ke tempat lainnya, melampaui banyak pertarungan baik dengan para jawara ataupun binatang buas, namun dari semua pertarungan yang ia lakukan, sekian waktunya masih saja, belum juga ada yang dapat mengalahkannya, bahkan untuk mencari musuh yang sepadan atau seimbang pun susah dicarinya.
Sering kali ia mendapat kabar jika di sebuah tempat yang terpencil ada seorang yang sakti mandraguna, dan setiap di mendengar kabar seperti itu, maka segeralah ia mencari dan mendatanginya kesana. Dan dia selalu bertanya, adakah di dunia ini, orang yang sakti yang dapat mengalahkannya, namun semua orang sakti yang ditanya tersebut selalu tidak dapat memberi petunjuk, bahkan sebagian ada yang di paksa untuk menunjukkan, dan lalu terjadi pertarungan. Namun lagi-lagi Kian Santang yang menang. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk bertapa brata, mencari petunjuk dari yang maha kuasa.
Alhasil, dalam tapa bratanya ia mendapat bisikan gaib, bahwa di tanah sebrang, yang tepatnya di tanah arab terdapat seorang sakti yang akan dapat mengalahkannya. Maka, segeralah ia, dengan ajian napak sancang-nya (seperti berjalan di atas air) ia menyebrangi lautan, dan singkat cerita sampailah ia ke tanah Arab. Di sebuah padang pasir yang tandus ia berjumpa dengan seorang kakek, lalu bertanya-lah ia segera, "wahai, kakek tua, izinkanlah sahaya bertanya"
"oh, anak muda, apa yang hendak kau tanyakan padaku?" jawab sang kakek tersebut.
"aku mendengar, bahwa di tanah arab ini ada seorang sakti yang pilih tanding, dapatkah kau mengatakan padaku, siapakah orang sakti tersebut?"
"ya, ada...." jawab sang kakek singkat.
"siapakah orang tersebut dan dimanakah tinggalnya, biar aku kesana untuk menantangnya berkelahi." sang kakek diam lama sekali, dahinya berkerut-kerut seperti brfikir, lalu kemudian menjawabnya dengan teramat lembut.
"baiklah..... Akan aku tunjukkan siapa orang tersebut, dan dimana rumahnya," kata kakek tersebut, "tapi, ada syaratnya."
"syarat apakah itu, kakek tua?"
"pakah engkau bersedia ikut dahulu kerumahku, wahai anak muda yang perkasa?"
"baik, kalau itu sarat permintaanmu. Aku akan penuhi, kakek tua."
Lalu segeralah mereka berdua berjalan bersama menuju kerumah kakek tua tersebut.
Sesampainya di rumahnya, sangkakek tersentak kaget, "oh.... Maafkan aku yang sudah mulai pikun ini...."
"ada apa kakek tua?" tanya Kian Santang seketika.
"em.... Tongkatku.... Ya, tongkat yang aku tancapkan di tempat kita bertemu tadi, aku lupa mencabutnya," katanya. "apa kau bisa mengambilkan untukku?" pinta kakek tersebut, kemudian.
"baiklah akan segera sahaya ambilkan, tapi kakek harus berjanji—benar akan menunjukkan tempat dimana orang sakti itu beradakan?" tanya Kian Santang menegaskan. Namun sang kakek hanya menganggukkan kepala sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
Maka segeralah Kian Santang bergegas pergi mengambilkan tongkat yang dimaksud orang tua tersebut. Lalu, dicabutlah segera sesampainya di tempat tersebut. Namun, alangkah terkejutnya, Kian Santang. Berulang kali di cabutnya tongkat tersebut namun tak juga berhasil, bahkan dengan sekuat tenaga serta seluruh ilmu kesaktiannya-pun ia tetap tak mampu mencabutnya. Alhasil justru tangannya yang kuat serta kokoh, kini telapaknya jadi berdarah-darah, sedang tongkat masih tetap menancap kuat. Maka, Kian Santang jadi terbersit tanya dalam hatinya, "mengapa, aku tak kuat mencabutnya? Ada apakah dengan tongkat ini? Atau, jangan-jangan orang tua tersebut adalah orang sakti yang aku cari-cari?" lalu Kian Santang-pun kembali kerumah orang tua tersebut dan menyembah, menyerah kalah, tak sanggup mencabutnya. Namun, dengan bekal dua kalimah syahadat yang di ajarkan orang tua tersebut, disuruhlah Kian Santang mencabut kembali tongkat itu, dan alhasil dengan sangat ringan sekali tongkat tersebut dapat di cabut kembali. Maka bertanyalah Kian Santang, "siapa gerangan kakek ini?" dia adalah Saydina Ali R.A sahabat baginda rasul yang mashur itu. Dan, dengan sendirinya Kian Santang telah masuk Islam, atau telah di islamkan bersamaan ketika ia mencabut tongkat tadi.
Urat-urat Kebohongan Dari Cerita Ini
Menelesik kisah di atas, tentu yang pertama-tama terbersit dalam pikiran kita adalah, rasa tidak percaya, dan mungkin kalian atau saya akan mempertanyakan, "kapan peristiwa tersebut berlangsung?" dan, "apakah pertemuan antara Kian Santang dengan Saydina Ali tersebut hanyalah kisah kiasan belaka atau memang betul pernah terjadi?"
Karena jika benar terjadi dan yang di maksud adalah Kian Santang yang adiknya Cakrabuana atau Si Walang Sungsang, yakni anak dai Prau Siliwangi atau Sri Baduga, betapa hal ini jauh sekali, dan berat rasanya untuk dikatakan benar. Karena masa hidup Siliwangi yang notabene ayah dari Kian Santang saja sangat jauh selisihnya dengan saydina Ali. Siliwang atau Jaya Dewata hidup antara tahun 1482-1521 masehi, atau abad ke empatbelas – limabelas sedang Saydina Ali hidup di abad ke 6 masehi, "bagaimana mungkin Kian Santang bertemu dengan orang yang sudah meninggal," maka dugaan sementara yang paling tepat adalah bahwa cerita tersebut hanyalah sekedar cerita mistis. Namun jangan harap, bahwa kemudian cerita tersebut menjadi cerita sejarah yang wajib untuk diketahui oleh anak-cucu kita—yang padahal bisa menjadi tuntunan serta sepirit bagi generasi muda—setidaknya seperti keika ceita terseu beredar yang munkin sangat di galakkan supaya di perdengakan, hingga banyak kisah serupa dengan kisah tesebut yang beredar di bumi pasundan. Artinya, pertama-tama kita sepakat menganggap cerita itu bohong besar alias imajener. Dan jika kita masih ingin menelesik lebih lanjut maka kita harus beralih mencari hipotesa lain, atau prtanyaan kedua, "apakah kisah Kian Santang tersebut hanyalah cerita kiasan? Lalu kiasan yang bagaimana? Alasannya adalah; bahwa mereka berdua, antara Cakrabuana dan Rara Santang memang pernah berkelana sampai ke Negri Mekah, guna menunaikan ibadah Haji, sesuai dengan perintah kakek gurunya, Syeh kuro. Dan kiranya perlu di garis bawahi, apakah karena "Mereka berdua" pernah ke Mekah tersebut, maka ketika kisah tersebut diceritakan oleh Cakra Buana lalu banyak masarakat yang berprasangka jika Si Kian Santang ketika bertemu Saydina Ali ada atau ikut diantara mereka berdua? Yang artinya hanya terjadi kesalahan tafsir saja, atau memang kisah tersebut di kiaskan oleh Cakrabuana dalam menyebarkan Islam memang seperti itu. Sebab jika kita kembalikan, kepada kenyataan seperti diatas, bahwa sesungguhnya diantara mereka bertiga berbeda masa hidupnya, maka masarakat yang semula percaya pada Legenda tersebut menjadi kecele.
Maka ada dua kemungkinan atau dua peluang sangkaan, yang pertama adalah kesalahan tafsir masarakat, yakni mengira Kian Santang ikut bersama mereka berdua. Dan kemudian menyangka, "mungkin saja dia; Kian Santang adalah adik dari Cakrabuana dan yang kedua adalah, cerita tersebut hanyalah cerita kiasan, yang melambangkan bahwa Cakrabuana pernah menempuh perjalanan jauh ke Mekah, seperti yang pernah dilakukan Kian Santang. Dan kedua sangkaan tersebut sama-sama memunculkan pertanyaan, baik karena kesalahan tafsir atau hanya cerita kiasan yang disampaikan kepada masarakat ketika dia; Cakrabuana mensiar-kan ajaran islam. Yakni, pertanyaannya adah, "siapakah sesungguhnya Kian Santang tersebut, hingga Cakrabuana meng-kiaskn dirinya seperti Kian Santang? Atau siapakah Kian Santang itu, dan diambil dari nama siapa hingga masarakat mengira sosok Kian Santang itu ada?". Tentu ada alasannya. Dan menurut dugaan penulis, seseorang yang tahu persis siapa Kian Santang tersebut justru Ni Subang Larang, atau mungkin saja Jaya Dewata sendiri yakni ayah dari Cakra Buana dan Rara Santang. Mengapa demikian? Tentu kunci jawabannya ada pada nama adik Cakrabuana, yakni nama Rara Santang. Mengapa Siliwangi, atau Ni Subang Larang menamai anaknya dengan nama Rara Santang, kalau tidak karena mereka terinspirasi kisah lama, atau nama dari sebuah cerita kepahlawanan pada masa lalu yang terjadi di bumi Pasundan. Dan dugaan saya dikuatkan dengan catatan sejarah, bahwa dahulu kala, yang bertepatan dengan masa hidupnya Saydina Ali, yakni pada tahun 667-an parnah terjadi penyerangan oleh dinasti TANG terhadap kerajaan Tarumanegara, (sebab masa hidup saydina ali bertepatan dengan kepemimpinan Linggawarman di Kerajaan Tarumanegara di tanah air) dan kata-kata Tang dalam dinasti-tang sepertinya ada bertalian dengan nama "tang" dalam nama yang dimiliki oleh Kian san-tang, dan apa bila diartikan menurut bahasa mandarin lama maka ki-an-san-tang, berarti, "Ki" adalah sebutan untuk seseorang lelaki dewasa "an" penakluk, dan "san-tang" adalah asal kata dari pasukan dinasti tang. Dan menurut hemat duga saya bahwa nama Kian Santang adalah nama sebuah gelar kepada seseorang yang di berikan oleh penguasa setempat—dan karena tahun itu adalah tahun kekuasaan Linggawarman dengan tarumanegara-nya—maka yang paling memungkinkan nama tersebut diberikan oleh Linggawarman, kepada seseorang jawara yang telah berhasil mengusir pasukan dinasti Tang, menjadi Kian Santan, yang artinya seseorang yang telah berhasil mengalahkan pasukan dinasti Tang—yang hendak menyerang kerajaannya waktu itu. Dan peristiwa ini ada dalam catatan kronik Cina tentang ekspedisi dinasti Tang yang sampai ke te-lo-mo atau Tarumanegara. Sedang apakah peristiwa tersebut ada kaitannya dengan perubahan dari Tarumanegara menjadi dua yakni Sundapura dan Galuhpakwan kita mesti menyelidiki lebih lanjut. Sebab Wretikandayun bukanlah seseorang yang punya ikatan saudara dengan Linggawarman secara langsung, melainkan hanya cicit dari pendiri kerajaan Kendan, yakni Pendeta Manik Maya yang merupakan menantu dari Suryawarman atau raja Tarumanegara ke 8, lain dengan Trusbawa yang masih menantunya Linggawarman, sehingga ia di serahi Tarumanegara namun titik awal kepindahannya ke Sunda sembawa adalah karena Trusbawa-red memang ingin mengulang masa kejayaan Taruma yang memang waktu itu telah redup. Namun hal ini bisa kita bahas dalam kesempatan lain, karena dalam tulisan ini yang akan kita bahas adalah kebenaran kisah Kian santang.
Kembali kepada masalah Kiansantang.
Dan jika dugaan hipotesa saya tepat, maka kisah yang berkembang di bumi pajajaran adalah hanya penceritaan ulang yang disampaikan oleh Walangsungsang—untuk media dakwah Islamiah-nya—yang meng-kiaskan bahwa kisahnya hampir sama dengan kisah yang dialami oleh Kiansantang, namun yang di cerit-i salah dalam menafsirkan dan kemudian berasumsi bahwa Kiansantang adalah seseorang yang ada diantara mereka berdua.
Walaupun kejelasannya, "siapa sesungguhnya Kian Santang" hanya sebatas itu, paling tidak kita dapat sedikit mengerti duduk persoalan yang terjadi, bahwa Kian Santang yang dimaksud bukanlah Kian Santang yang selama ini kita dengar dan bayangkan. Bahwa Kian Sntang memang ada tapi bukan seperti dugaan kita selama ini.
—————————
judul:
by: aradea
ketika sedikit dari diri kita sendiri yang kita ketahui,maka bahasa yang tanpa literatur atau tanpa rujukanpun dirasa cukup mengelola sepa.
Tapi setidaknya aku coba mengacu pada kebenaran atau yang saya tulis adalah yang paling benar menurut saya ,menurut anda bagaimana?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar