Aradea rofixs home

16 Agu 2017

Sajak beranjak

Wanita dan Hujan

Dua tubuh yang berlindung di balik payung hitam ditengah derasnya hujan itu adalah satu.

Hujan yang mampir dimalam-malam kesepian adalah hujan yang entah ke berapa puluh kali semenjak tujuh bulan silam, dimana salah satu dari kedua tubuh itu termakan deras tetes-tetes kenangan, terdalam.

Dia, wanita itu seolah-olah melihat betapa setiap repih air hujan seperti turun hanya untuk memecah batu-batu kenangan.

Apalagi jika hujan itu malam malam. Diambilnya, mantel, payung, dan digendongnya sekarung cerita tentang lelaki yang kini tersimpan namanya dan seperti membeku dilemari es, hatinya.

Lalu ia berlayar dilautan masa lalu, memetik bunga-bunga tawa, menanak kemesraan, membayangkan yang saat itu selalu di bayangkan, yakni hidup damai dalam satu ikatan yang disebut keluarga.

Menjalani hari-hari indah dalam canda dan tawa, ada anak, dan ada kedamaian dalam Rumah kecil berhalaman hijau penuh bunga-bunga bermekaran.

Sejenak malam lumpuh dan air hujan seperti di Setop berhenti, saat bayangannya menubruk pada batu keras yang disebut rintangan.

Matanya melihat tiap repih air yang menetes seperti tangis yang bengis, yang sering menghampiri jika harus memandang kenyataan, bahwa hubungan yang tak direstui itu pasti akan berakhir dengan kesedihan.

Tapi itu hanya sebuah lukisan hitam yang selalu keluar setiap pintu bayangannya terbuka saat itu. tapi malam kelam serta air hujan telah memanggilnya, mengajaknya pergi jauh, jauh sekali, sebelum jalan terjal itu di lewatinya.

Lelaki itu telah menghadap kekuasaan takdir Tuhan ketika sebuah truk kontainer parkir di atas tubuhnya.

Dan, dua tubuh yang berlindung di balik payung hitam ditengah derasnya hujan itu adalah satu.
Karena didalam tubuhnya ada tubuh kecil yang bersembunyi dirahimnya.

Adalah kenangan terindah yang ditinggalkan lelakinya, yang sebagian orang mengatakan aib.

Memandang titik air hujan yang semakin lama seperti semakin bengis mengadilinya.
Matanya seperti menenteng pertanyaan tapi dia sendiri tak tahu bagaimana mewujudkan pertanyaannya itu kedalam kata-kata.

"Apakah dalam perutnya itu anugrah kenangan indah, ataukah aib hitam seperti hujan di malam itu."

Jakarta 16/8/2017

Diasporasi

Kalian adalah kalimat yang ingin aku ceritakan selayak dua sajak yang dipisahkan oleh hujan
Karena kibasan angin dari benua purba
Karena udara terbakar mimpi mimpi yang kurang rapi, Karenanya kalian terpenjara oleh satu ruang panjang yang bernama takdir

Kau adalah cerita yang mengapung di lautan ambigu kumpulan setiap tetes hujan yang meretas semalam, bendera, lembaran buku, dan beberapa helai harapan yang tertumpuk jadi satu.
Dan kau adalah puing-puing taska, serpihan gelap malam yang terbungkus hujan dan dipanggang oleh dingin dari tiap bayangan yang keluar dari sorot sinar harapan

Kalian adalah bayangan yang keluar dari lampu ambivalensi dari sebuah kalimat laknat yang diselimuti hujan semalam, asap pengap, keringat dingin, dan baju-baju lusuh yang pernah di kenakan oleh niat baik bersama

Kalian adalah puing-puing dari bangunan besar yang jika di satukan akan nampak seperti sebuah kota termegah
Kau melangkah mundur setapak seiring celoteh sebuah iklan di tv hitam putih yang selalu menyaksikan kita dengan lambaian kesesatan
Dan berhenti di sebuah kuil yang muali runtuh, sekelumit doa yang terpenjara didalamnya, serta sepotong roti dengan slay madu yang kadauarsa

Kalian adalah yang sengaja aku pisahkan dengan musim yang belum pernah di uraikan oleh dingin di awal tahun
Dengan harapan kelak akan disatukan kembali oleh langit yang disebut kenangan
Seperti matahari yang mencium laut oleh rasa lelahnya senja, bendera, lembaran buku, dan beberapa helai harapan yang tertumpuk jadi satu.

Kau adalah burung terbang yang di tinggikan rima sebuah gaung sebagai sajak kecil sehingga kuping akan kehilangan bunyi tak mendengarkan suara yang memantul mantul.
Dan, kau sepeeti dua sepeda motor yang lelah, menunggu datangnya tiap kejadian, parkir di halaman hatiku

Kami adalah bumi tempat kau kembali memijakkan kaki pada kacamata, pada dua bayangan yang hampir menjadi kenyataan

"Percayalah padaku rumahmu itu kenyataan,"
Dan mimpi itu hanya jalan kecil tempat rindu mengembara yang mungkin harus segera di lupakan ketika matahari berterang sinar

Kau adalah asam nun di pucuk gunung dengan keterjalan mimpi untuk manusia biasa
Sedang kau adalah garam yang telah di asinkan oleh masalalu
Dan kalian tengah terbuai mendengarkan sebuah lagu dari diaspora yang di nyanyikan oleh panggung sandiwara di pasar malam kemarin sore
Atau jika kelak kesadaran menghampiri rumahmu, dimana di sebuah Periuk yang bernama kepentingan kita akan bertemu lebur dalam kenangan untuk besok

Pekalongan 3/8/17

Yang Hidup dalam Secangkir Kopi

Dan, aku hirup udara, secangkir
Menyembul, dari kopi

Aku untit kemana asap hidup
Mengepul dari cangkir

Air yang membingkai sepi, yang tersekat, dalam

Kubangan. Secangkir sepi yang berusaha keluar, mencari lubang

Malam merembas, basah, semua
Meresap lamunan ke sekeliling, waktu mengalir,
Samar, seperti suara guruh, entah menandai kedatangan atau kepergian

Malam hitam itu seperti tanggul-tanggul yang kemarin
Jebol, seperti kenangan yang menyembul dari kopi
Secangkir gelisah buatanmu,

Asap hidup yang bertanya, "kemana air berlanjut
Sejarah seperti berdiri sendiri, tak sengaja
Seperti sekawanan gagak yang terbang mengutip kematian dari kantung lama,

Seperti langkah pulang
Seperti berkumpul dalam lautan
Berdansa di nyanyian ikan-ikan

Ikan-ikan yang mengirimkan mantra turun hujan, kelangit
Seketika riuh ruh-ruh memanjat, naik Sepanjang musim, terus saja berulang

Dan, hujan datang, lagi
Dan, aku seperti menggeser gelas lama, dalam kenangan,
Kesamping

Dan aku tahu. Kemana air asap kopi
Hidup, bersama beratus matra
Menjadi lingkaran
Mengalir ke tangga langit, turun ke ceruk bumi

Seperti menangkap angin, tangan menepuk sendiri
Hanya satu yang di raba, dan yang sejuta lepas kemana
Satu, ketika angan mengenang, maka terlintas jutaan jejak purba

Jalan itu sering disebut hutan, tercipta dari beratus gaung dan rima, sebuah sajak yang di tabuh dengan berjuta irama

Yang melodinya terkadang buntu oleh, hidup, asap, kopi
Dan, lainnya berkata, "itu tak mudah"
Sebab harus melawan arus

Atau, menjadi lubang dan mendiami, labirin keabadian

Kemana asap, itulah air, yang kau tunjuk arti alirannya, adalah hidup
Dan menyembul, terhirup dari secangkir kopi, udara masa lampau

Dan sampai ke satu laut, seperti di tuntun
Melewati sungai-sungai, menyusur kenangan lama

Untaian untaian sajak nan lembut, menyampaikan-nya
Segala asap yang aku lepaskan dari tubuh, berkabut
Satu persatu, kopi di tubuhku kau sruput.....

Jakarta 2014

Senja di Kaki Gunung Cermai

1/
Aku mengendus langit, berjalan menyusuri warna senja siluwet
Semua lanskap yang tak mudah ditegakkan dengan mimpi
Aku seperti lebih tersembunyi
Untuk menjelaskan rindu yang remuk itu— dengan untaian doa

Seperti petir, akupun kehilangan hujan, menantimu sendiri
Melewati babak baru
Dan, senja melepaskan panah, hingga mengenai jantungku

Senja dikaki gunung cermai
Satu-satu ku gedor pintu-pintu yang sedianya tertutup
Malam diam, dan angin enggan menguraikan nafasku

Senja seperti makin jauh, dan sepertinya tak pantas aku merindukan wajah beningMu
Tapi, untuk lari darimu-pun aku tak kuasa

Apakah di langit bisa aku sembunyikan semuanya?
Sementara, senja yang mengepung ci-limus berupa kepingan dingin
Adalah nyanyian kecil dari jiwa kecil, yang akan segera membeku
Atau akan menjadi luka yang teramat besar untuk disembuhkan

Ini tiada sepotongpun hari, atau berpotong-potong masa dapat aku bawa dalam kantung kenangan
Terkubur disini. Dalam dingin yang tiada lagi ada yang akan tumbuh,
Lalu apalagi yang aku tunggu, semua telah tumpah bersama gerimis— yang tiba-tiba saja menimpa bait ini

Senja ini sembunyi di kaki gunung cermai
Aku halagi tubuhku dengan sajak tanpa sehelai daya
Apakah ada hari baik, atau hari paling indah, jika ingin itu adalah kematian?

Aku resah

Dan, malamnya rembulan hilang
Ia seperti disembunyikan, entah oleh siapa?
Sehingga aku tak pernah bisa pastikan, "apakah ini adalah awal, saat aku tebang pohon-pohon
Sebab ranting-ranting adalah tak ubahnya permasalahan
Yang akan segera tumbuh kembali
Seandainya esok itu hari ada
Kau akan melihat sesuatu, yang baru, di situ

2/
Aku sama seperti rembulan
Selalu ingin melihatmu tersenyum
Senyum yang panjang sepagi sesepi, semata
Biarkan senja kelak kembali menukik, akan
Aku gantung sajak ini di bebatuan, di semak, di jurang, di ceruk
biar setiap hari menikam langit dan sampai kepadamu langsung ke kubus hati

Lampu-lampu yang miskin akan bertambah tak bersinar, apalagi jika tiap huruf ikut menghitung air mata, dalam kesekian kelam

3/
Mereka merekam...
kelelawar itu jelas merekam tiap gelap yang susuri berkerjap-kerjap
Mereka menimbun sunyi, mereka berkejaran dengan rima pada dinding,
Sajak ku
Mereka seperti sama-sama bertanya, "adakah terang datang esok hari?"
Mereka yang mencoba melihat tulang rusukku,
Mereka yang seperti melihat gundah

4/
Dari kejauhan langit di atas lingarjati masih merah, melingkar
Semua rumah telah di terangi lampu-lampu
Selamat malam jiwaku
Selamat bernyanyi di rimbun, sunyimu
Kita sebentar lagi akan berpagut semalam di sini
Tak ada purnama di dingin ini
Semua sepi
Semua jauh
Hanya doa yang aku seret mendekat.

Cilimus, 1998

Langit Dalam Sarung

Langit murung dibalik sarung kumalku malam ini

Banyak cerita yang gagal aku panen

Aku seperti menemukan sebuah luka dilubang lama dalam tubuhnya

Saat terlentang

Tentang cerita yang disekat oleh ceruk purba

Dengan kedalaman yang pernah dipikirkan Descartes.

Dunia seperti kura-kura, lamban terbungkus dingin, menjadi es

Daun usia satu dalam sebuah harapan yang belum jadi, berguguran

Malam ini rasanya terlalu banyak mimpi yang kehilangan selimut dalam sarung yang sempit

Dalam malam asin, cerita itu terasing disembunyikan lamunan, dalam sarung

Aku seperti gagal menyusuri tubuhnya, yang  telah
Disulap oleh bintang-bintang menjadi jengrik di sebuah kota,
Dengan suara nyaring yang terkalahkan oleh bising

Separuh halaman rumah hampir penuh,
luka-luka menjalar, seperti ular hitam beracun yang tengah menancapkan bisa

Mengenang hitam kala secangkir kopi menjabarkan pahit di kepala

Kepedihan yang tular-menular, seperti membangun kuil diatas timbunan pasir, dengan
Mimpi yang senantiasa bercengrama,

Dengan biru air laut, dan angin tak pasti arah hembusannya
 
Otakku tertusuk jarum kerinduan
Dari mimpi hitam yang tak pernah tua.

Meskipun rasa asin menuakanku dan menghidupkan semua kenangan
 
Rasanya belum pantas 'ku keucap harap, dan musim membujur sembunyi dibalik bantal

Padamu

Kepedihan telah menanak luka dimana kaudapati ruang dalam jiwaku.

Malam ini akhirnya aku tahu
Kepedihan itu hidup dalam sarung kumalku

Seperti baja baja beton dan cakar ayam yang menghunjam,
Atau hujan yang seperti logam runcing yang mendengung lepas dari langit

Kakiku masih memahami makna, melangkah

Menggambar angin
Dan berputar kembali kedalam ceruk dengan musim yang sama namun dalam situasi lain.

Dengan kebisingan yang batu
Aku berjalan pula pada gelap dan suram didalam sarung
 
 
Ku temukan kau di sini.

Dan tiada luka karenanya.

Setahuku jiwa itu raga yang panjang dan diatasnya ada arus musim silih berganti

Mereka yang pulang terluka menandai sakit dalam rasa.
 
Jkt.8

Tidak ada komentar: