1/ a. Hutan kematian
Perkara mati adalah urusan angin dengan hulu sungai.
Sebagaimana hanya kesedihan yang kemudian dapat menceritakan teka-teki hujan dengan sempurna
Bukankah setiap bulan, Minggu, hari, selalu saja ada kematian bercerita?
Sebab pun takdir semakin belantara, sebab pun didalamnya tumbuh rimba batang-batang liar menyesatkan.
Memaksa sudut menyudut, kotak mengotak, dan tanya bertanya; "tentang bagaimana tangis kemarin, atau
tentang bagaimana jika tak ada tangisan kemarin?"
Mungkin hari ini, puisi ini, bukan lagi rangkain huruf
Melainkan hanya susunan air mata yang di Iumuri majas?
Tapi kemudian disebut tangis.
B/ Hutan jerit
Qabil menjerit, Qabil menjerit...
Ketika Khabil melepaskan kematian kearahnya,
dan nyawa Qabil melayang
Atau jika Qabil tidak mati,
dan beranak pinak?
Lalu
manusia di muka bumi ini
jumlahnya dua kali lipat dari saat ini...!
Lalu kita hidup saling berhimpitan.
Siapa yang menangis, siapa yang menjerit...sekarang?
Bukan Qabil tentunya.
2/ Hutan Kehidupan
Dipinggirkan takdirku ke tepi hutan.
Dimana jejak-jejak seperti jejakku
Dan jalan-jalan berliku nampak nyata seperti jalanku
Dimana setiap keresahan akan membentuk semak-semak
Dan aku semakin jauh
Baru semua jalan baharu oleh sempalan-sempalan pemikiran
Dan, jejak semakin jauh oleh jaraknya sendiri
semua buta, semua buta, sajak-sajak yang awas, pun berdiri dalam kebutaan yang tak terkira
sebab semua kehangatan tidak pernah sampai kepada api,
tidak dapat bersentuhan dengan tuhanNya
3/Hutan Rasa /
Satu yang ingin aku jawab, teka teki
untuk sebuah rasa yang hanya akan menjadi seribu pertanyaan,
yang lahir dan hinggap di gurun pikiran,
kemudian. Aku rindu pada lautan
Aku resah pada malam
Aku cinta pada kepak pedih dan penderitaan
semua, tak perlu di terka, termasuk kemana air mengalir,
tak perlu di terka berapa ikan ikan di dalamnya.
Cukup, aku rasa Bahwa hutan ini adalah hutan rasa,
sulur-sulur bianglala
itu hanya permainan warna
semua permainan seperti menari
merekapun menari dari pagi sampai malam menjemput tidur.
4/Hutan /
Mata Siapa yang tersesat?
"mata," jawabmu.
Siapa yang bersedih?
"hati," jawabmu.
Siapa yang terluka?
Kau terdiam di timbun badai dari gurun pasir kisah kehidupan lampau
Siapa yang mati?
Dan kau menangis terseret arus takdir menuju muara pengharapan yang waktu itu kosong
Siapa yang hidup?
Siapa yang mati?
"Mata hati," kataku
5/Hutan Sangai/
Bersangai rindu, aku pun menelik sajak
"Seperti mengupas apel saja"
Hilang warna merah dikutup perjalanan, wajahnya
Seperti rimba belantara yang di penuhi jalan sesat
Dan, aku menemukan sebuah kota yang hilang, yang tersembunyi disitu
Setahun perjalanan cahaya yang lambat,
Seperti menyusuri pestaka lama,
ada dentum mantra-mantra, tersuji
sejidar harapan yang teruji,
mimpi suci, yang belum di tenun oleh selimut
dan sulur cahaya leader yang telah lama temaram
Adalah kota yang penuh perlip wangi bau surgawi, menuntun
Semakin dalam kesana
ketempat yang membentuk sepura-sepura kecil dari daun santau beracun.
Bersangai perlip, dibatas kutub wajahnya
Aku seperti mendaki masa depan
Adalah tebing curam yang selalu membunuh pendaki muda
Ketika hujan ku temukan licin yang di ceritakan oleh kumbang kumbang hutan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar